DILEMA ETIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Etik merupakan
prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik
serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Etik
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan
istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia
berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Nilai-nilai,
keyakinan, dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan
keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang
ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang
benar dan salah, apa yang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau salah,
dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema
etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila
memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi
sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika
tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis
bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi,
dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang sangat besar. Manusia
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan rasa, karsa dan
daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat dewasa
ini adalah teknologi reproduksi. Teknologi reproduksi adalah ilmu reproduksi
atau ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur
tertentu untuk menghasilkan suatu produk (keturunan). Salah satu teknologi
reproduksi yang telah banyak dikembangkan adalah inseminasi buatan. Inseminasi
buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination yang berarti
memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria
(spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi
atau penampungan semen terhadap sel telur wanita. Hal ini
akhirnya memunculkan isu etis yaitu masalah-masalah etis yang berkembang dalam
dilema etik itu sendiri. Beberapa Persoalan yang muncul dari hasil-hasil
inseminasi ini antara lain, bagaimana hak anak untuk mengetahui ayahnya yang
sesungguhnya, hak untuk mengetahui latar belakang ayahnya, dan bagaimana hak
sang donor untuk dirahasiakan identitasnya, termasuk terhadap anak yang
dihasilkan dari pembuahan oleh sel sperma sang donor. Pada makalah ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai dilema etik disertai dengan isu etis transplansi
yang berkembang di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari dilema
etik?
2.
Bagaimana pandangan penulis
mengenai kasus inseminasi buatan sebagai dilema etis?
3.
Apa resiko dan dampak inseminasi
buatan?
4.
Bagaimana pandangan inseminasi
buatan dari segi agama, sosial, dan hukum?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui apa pengertian dilema etik serta prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penyelesaian dilema etik tersebut.
- Untuk mengetahui salah beberapa contoh kasus inseminasi buatan yang berkembang di masyarakat.
- Untuk mengetahui resiko dan dampak inseminasi buatan.
- Untuk memahami dan mengetahui beberapa pandangan tentang inseminasi buatan dari segi agama, sosial, dan hukum.
1.4 Manfaat Penulisan
Agar mahasiswa bisa mengetahui
pengertian dari dilema etik, yang disertai dengan prinsip-prinsip dalam
penyelesaiannya. Selain itu dalam makalah ini mahasiswa juga bisa menambah
wawasan mengenai contoh dan realita isu etis khususnya isu etis mengenai inseminasi
buatan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Contoh Kasus Inseminasi Buatan
2.1.1 Kasus pertama
12 Juni 2009 di
Gaberahap.wordpress.com
Perjalanan Penantian Memperoleh Anak
Kami
adalah sepasang suami istri yang memulai hidup berumah tangga pada tanggal 25
Maret 2001. Saya adalah seorang tunanetra sedangkan istriku berpengelihatan
awas.Upacara pernikahan yang teramat sederhana menandai permulaan kami menempuh
hidup bersama sebagai suami istri. Kehidupan dalam tatanan yang sama sekali
baru bagi kami tentu saja tidak mudah dijalani. Kami sering terlibat dalam beda
pendapat yang berujung pada pertengkeraan. Pertengkaran demi pertengkaran
menjadikan kami semakin menyadari kepribadian
masing-masing. Kesadaran yang semakin tumbuh menambah rasa membutuhkan di
antara kami.
Setelah
satu tahun menempuh hidup berumah tangga, ternyata kami belum dikaruniai
keturunan. Tanda-tanda kehamilan belum pernah nampak pada istriku. Menyadari
keadaan itu, saya teringat pesan salah seorang paman yang berprofesi sebagai
dokter kandungan, jika pernikahan sudah berusia satu tahun dan belum menampakan
tanda-tanda kehamilan pada istri maka sebaiknya segera dikonsultasikan ke
dokter. Hal itu disebabkan semakin lama tidak dikonsultasikan berarti semakin
sulit pertolongan yang diberikan dokter. Berdasar keterangan paman, saya lalu
berkonsultasi langsung kepada paman
sendiri karena beliau seorang dokter
kandungan. Langkah awal yang diberikan paman adalah pemberian obat penyubur
selama satu bulan pada istri saya.
Satu
bulan berlalu tetapi belum ada tanda
kehamilan juga. Lalu pengobatan diulang untuk periode satu bulan lagi dan tanda kehamilan belum datang juga. Memasuki
bulan ketiga, saya diminta melakukan tes sperma. Hasil tes menunjukkan bahwa
jumlah sperma saya pada batas minimal dan terjadi aglitinasi yang cukup tinggi.
Aglitinasi adalah terikatnya ekor sperma satu dengan yang lain sehingga menghambat
kemampuan bergerak menembus sel telur.
Berdasarkan
hasil tes itu, saya diminta paman berkonsultasi kepada dokter andrologi. Dokter
andrologi melakukan pemeriksaan dan mengulang tes sperma. Hasil pemeriksaan
menunjukkan saya mengalami herni dan varises di skortum (kantung buah zakar).
Adapun tes sperma menunjukkan jumlah sperma minimal dan gerakan sperma di
tempat lebih tinggi daripada gerakan lari sperma.
Istri
juga dikonsultasikan kepada seorang dokter kandungan etapi kali ini bukan
paman. Hasil pemeriksaan ternyata keasaman yang disebabkan keputihan pada
istriku cukup tinggi. Selanjutnya kami berdua sama-sama diterapi. Bulan demi
bulan kami jalani dengan jadwal terapi yang ketat. Namun tanda-tanda kehamilan
itu belum nampak.
Suatu
saat dokter andrologi meminta saya melakukan tes ketahanan hidup sperma selama
24 jam. Atas permintaan dokter itu saya menyetujuinya. Namun sebelum tes
dilakukan dokter mengatakan, bahwa daripada mubasir sperma dibuang setelah
dites, beliau meminta izin untuk memilih sperma terbaik dan kemudian diinseminasikan
kepada istri saya. Atas permintaan itu pun saya menyetujuinya.
Tes
selesai dilakukan dan hasilnya spema saya cukup banyak yang dapat
bertahan hidup selama 24 jam. Selanjutnya
inseminasi dilakukan terhadap istri. Oleh karena inseminasi itu dilakukan tidak
semata-mata dengan tujuan inseminasi dan persiapannya pun tidak untuk
inseminasi, kami tidak terlalu berpikir terjadi kehamilan.Ternyata kehendak
Alloh SWT lebih berkuasa dibanding apapun juga. Istriku terlambat haid.
Keterlambatan haid yang terjadi tidak meyakinkan sebagai tanda kehamilan karena kadang-kadang timbul bercak darah.
Ditambah lagi inseminasi tidak dilakukan semata-mata untuk itu semakin membuat
tidak berpikir terjadi kehamilan. Namun perasaanku mengatakan ada kehadiran
mahluk Alloh SWT yang hadir di antara kami. Saya juga tiba-tiba senang terhadap
rujak dan sering letih. Sesuatu yang lebih aneh bagiku adalah keingiinan
terhadap suatu barang tidak dapat ditolak oleh akal sehat. Keadaan itu tidak
dirasakan istriku sama sekali. Menyadari kejadian yang tidak biasanya itu saya meminta istri tes kehamilan.
Istri menolak melakukannya dengan alasan
dia tidak merasa apa-apa. Mendapat reaksi itu membuat saya agak memaksa istri
untuk tes. Disebabkan tes yang dilakukan setengah terpaksa, isriku mengalami
kesulitan untuk buang air kecil saat tes. Setelah minum dalam jumlah banyak
akhirnya
dapat buang air kecil dan tes
dilakukan. Hasil tes sungguh diluar dugaan karena ternyata istriku hamil.
Kegembiraan
tentu kami beserta keluarga besar
rasakan. Di balik kegembiraan kami terselip rasa khawatir, yaitu
kecemasan. Kecemasan
itu berkaitan dengan bercak darah
yang merupakan tanda terjadi pendarahan. Dokter berusaha menyelamatkan janin
kami dengan memberi obat penguat. Doa demi doa kami lantumkan kepada Alloh SWT
sebagai pemilik hidup dan mati manusia agar menyelamatkan janin kami. Alloh SWT
melalui takdirNya akhirnya meggariskan tanggal 14 September 2003 janin kami
terpaksa dicuret karena sudah tidak tumbuh lagi. Kami hanya dapat menangis
menghadapi kejadian yang melenyapkan harapan selama ini. Itulah saat iman kami
sangat turun karena lupa bahwa segala sesuatu berasa dari Alloh SWT dan akan
kembali kepada Alloh SWT.
Setelah
operasi, janin yang dikeluarkan kemudian diperiksa. Alhamdulillah tidak ada jaringan yang bersifat ganas. Selanjutnya
istri dites torch. Dalam tes ini diketahui beberapa virus termasuk tokso
bersarang di darah istriku. Pengobatan selama tiga bulan tanpa boleh putus lalu
dilakukan untuk menekan jumlah virus tokso dalam darah. Tiga bulan berlalu dan
inseminasi mulai dicoba diulang, tetapi kali ini dengan persiapan matang dan
dilakukan oleh dokter kandungan.
Sekali
lagi Alloh SWT melalui takdir-Nya menunjukkan kekuasaan yang tidak tertanding oleh siapapun dan apapun. Ternyata
inseminasi kali ini gagal. Kehamilan yang diharap belum datang kepada istriku.
Hal ini tentu saja menggoncangkan semangat juang kami. Beberapa bulan kami
menghentikan usaha yang selama ini
dilakukan. Istirahat tersebut selain untuk menyusun semangat juang, juga
guna mengumpulkan uang kembali yang selama ini tersedot dalam jumlah besar.
Setelah semangat terkumpul kembali, kami mulai
kembali. Kali ini kami ulang dari dokter andrologi sebagaimana pada awal
terapi. Terapi mulai dilakukan dan inseminasi mulai dipersiapkan kembali.
Obat-obat mulai kami konsumsi dan tanggal inseminasi pun sudah ditentukan. Alloh
Yang Maha Besar sekali lagi memperlihatkan kekuasaan kepada kami hamba-hamba-Nya
yang lemah. Bulan Juni tahun 2004
ternyata istriku terlambat haid, tetapi kali ini tanpa diikuti bercak darah dan
tanpa inseminasi.
Ketidakyakinan
terjadinya kehamilan sekali lagi meliputi istriku. Kali ini aku membujuk untuk
tes kehamilan tanpa paksaan melainkan pemahaman baik dan buruk ketidakyakinan
yang timbul. Aku menyatakan menghormati ketidakmauannya untuk tes, di lain sisi
aku memberi gambaran sisi negatifnya. Sisi negatif tersebut adalah jika tidak
diketahui hamil atau tidak padahal haid terlambat, maka saat berhubungan akan
timbul keraguan dalam bawah sadarku tentang hamil atau tidaknya sang istri.
Perlu diketahui di sini bahwa janin berumur tri semester pertama sangat lemah
dan rentan terkena pancaran sperma. Akhirnya istriku memahaminya dan mau
melakukan tes. Dalam tes kali ini terjadi sekali lagi kelucuan, yaitu alat
tesnya terbalik. Bagaimana mungkin timbul hasil hamil atau tidak jika alat
tesnya terbalik? Setelah menyadarinya istriku mengulang dan ternyata dia hamil.
2.1.2 Kasus Kedua
Sperma Tidak Berkualitas, Bayi Inseminasi Lahir Normal
|
|
* Kesuksesan Dokter
Tim Reproduksi dan Bayi Tabung RSWS Menangani Infertilitas
Pertama kalinya, rekayasa
teknologi reproduksi pada penanganan infertilitas (ketidaksuburan) dengan
menggunakan teknik inseminasi intra uterina, sukses dilakukan tim dokter
reproduksi manusia dan bayi tabung RS Dr Wahidin Sudirohusodo (RSWS). Proses
ini merupakan satu langkah sebelum teknik fertilisasi invitro atau lebih
dikenal dengan bayi tabung.Laporan: Anggi S. Ugart
|
Pasangan Usniwati dan
Eddy Tunggal boleh berbahagia dan bangga. Bayi mungil laki-laki hasil
rekayasa reproduksi inseminasi itu lahir normal dan sehat, Selasa pukul 14.05
Wita. Meski proses inseminasi dilakukan di RS Wahidin, namun sang ibu memilih
RS Elim Makassar untuk melahirkan. Pasangan berbahagia asal Kabupaten
Bantaeng itu, hanya butuh waktu kurang dari tiga bulan dalam persiapan
inseminasi tersebut.
Metode inseminasi
dilakukan jika dengan metode pengobatan yang lain belum menghasilkan
kehamilan. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan RS Wahidin Sudirohusodo,
dr Eddy Hartono, SpOG yang terlibat langsung menangani proses inseminasi
menyatakan rasa senangnya.
Sebab, kata dia,
selama kurun waktu sejak tim bayi tabung RS Wahidin berdiri satu tahun lalu,
dari 20 kasus inseminasi yang dilakukan RS Wahidin, baru pasangan Eddy dan
Usni yang berhasil. "Tim kami sangat senang dan bangga atas keberhasilan
ini. Pasangan ini sudah lima tahun menikah dan belum pernah dikaruniai anak.
Setelah melakukan terapi dengan ketekunan berusaha, doa dan keikhlasan,
mereka akhirnya berhasil mendapatkan anak. Orangtua lain yang sulit memiliki
anak pun bisa melakukannya," ujar Eddy.
Dalam dunia
kedokteran, Inseminasi Intra Uterina (IIU) merupakan tindakan rekayasa
teknologi reproduksi yang paling sederhana, dimana sperma yang telah
dipreparasi diinseminasikan ke dalam kavum uteri (rahim) pada saat sekitar
hari ovulasi.
Namun, syaratnya,
tidak ada hambatan mekanik pada fungsi organ reproduksi wanita, seperti
kebuntuan tuba (saluran sel telur) dan faktor peritoneum/endometriosis.
"Jika ada hambatan seperti kista dan kelainan anatomik, maka harus
diangkat dulu baru bisa diterapi," ujar dr Eddy.
Dalam kasus pasangan
Eddy dan Usni, memang ada poin tersendiri. Usia keduanya terbilang masih
muda, sehingga peluang berhasil dalam program inseminasi juga lebih besar.
Usni baru berusia 22 tahun dan Eddy 35 tahun. Masalah yang ada pada Usni, menurut
Eddy, indung telurnya terkadang tidak mengeluarkan sel telur. Tak hanya itu,
ketika sperma sang suami diperiksa, kualitas sperma juga tidak bagus.
Sehingga, kehamilan sangat sulit terjadi.
Sperma Eddy, morfologi
atau bentuknya tidak lengkap. "Pada sperma suami Usni, yang normal hanya
5 persen sehingga sulit menembus sel telur," ujar dokter dari bagian
Fertilitas, Endokrinologi dan Reproduksi Fakultas Kesehatan (FK) Unhas/RS
Wahidin Sudirohusodo ini.
Upaya penanganan
infertilitas, sebaiknya tak hanya perempuan yang melakukan pemeriksaan ke
dokter tapi juga pihak pria. Sebab, 40-50 persen pria penyumbang
infertilitas. Inseminasi sebenarnya, kata Eddy, juga bisa dilakukan pada
pasangan yang usianya 30-an hingga 40 tahun. Namun, usia muda tentu saja lebih
berpeluang untuk berhasil. Usni dan Eddy harus melakukan persiapan tiga bulan
sebelum inseminasi.
Tak hanya sperma yang
dipersiapkan, tapi juga sel telur. Untuk itu, pada hari ketiga haid Usni,
dokter memberinya pemicu ovulasi atau biasa awam menyebutnya obat penyubur.
Hari ke-9, dokter melakukan monitoring sel telur. "Ternyata, setelah di
USG transvaginal, sel telurnya tidak bagus. Responnya buruk. Yang normal, sel
telur ukurannya 18-20 mm, Usni hanya 10 mm sehingga stimulasinya kurang
kuat," ujar dr Eddy.
Karena kondisi
tersebut, dokter lalu memberikan suntikan hormon FSH yang berfungsi untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan sel telur (ovum) pada ovarium (indung
telur). Diharapkan suntikan FSH membuat sel telur matang. Usni harus
menjalani suntikan ini setiap hari selama lima hari. Setelah itu, dokter
menyuntik hormon pematang sel telur (Beta HCG). Sel telur yang matang siap
dibuah sel sperma.
Sembari proses
pematangan sel telur, pakar embriologi juga melakukan pencucian terhadap
sperma untuk memilih sperma Eddy yang benar-benar berkualitas. Dua pakar
embriologi yang melakukannya adalah Marce Pasambe, S.Si dan Irna Haemi
Muchtar S. Si. "Pencucian ini untuk memilih sperma yang terbaik.
Bagus kualitas, morfologi dan gerakannya bagus. Pencucian itu dilakukan
dengan medium G III Series dari Swedia. Akhirnya dihasilkan 2,4 juta sel
sperma. Sperma itu kami suntikan melalui spoit ke rahim setelah memastikan
sel telur juga benar-benar matang dan siap dibuahi. Setelah menunggu 1 jam,
pasangan itu bisa pulang," ungkap Marce.
Ternyata, usaha itu
berhasil. Dua minggu sejak inseminasi, saat dilakukan USG dokter melihat
adanya pembuahan atau kehamilan. Alhasil, bayi laki-laki lahir sehat dari
rahim Usni. Saat ditemui di RS Elim, Usni dan Eddy sangat senang sembari
menemani bayinya.
Meski belum diberi
nama, bayi yang lahir dengan berat 2,9 kg dan panjang 48 cm itu akan
diarahkan jadi dokter atau pengusaha oleh orangtuanya. "Kuncinya hanya
mau berusaha, tidak malu memeriksakan diri. Jangan hanya istri yang periksa
tapi juga suami," ujar Eddy, yang sempat mencoba berbagai pengobatan
alternatif seperti mengurut dan minum ramuan tradisional sebelum melakukan
inseminasi. Untuk biaya inseminasi, menurut dr Eddy tak kurang dari Rp5 juta.
|
|
2.2 Teori Dasar Inseminasi
Inseminasi
buatan merupakan terjemahan dari artificial
insemination. Artificial artinya buatan ataua tiruan, sedangkan
insemination berasal dari kata latin (inseminatus) yang artinya pemasukan atau penyampaian.
Artificial Insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Jadi,
insiminasi buatan adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita
dengan cara memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan
pertolongan dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan
buatan dan permainan buatan (PB).
Proses inseminasi
buatan dilakukan melalui proses reproduksi di mana sperma disuntikkan dengan
kateter ke dalam vagina (intracervical insemination) atau rahim (intrauterine
insemination) pada saat calon ibu mengalami ovulasi. Proses inseminasi
buatan berlangsung singkat dan terasa seperti pemeriksaan papsmear. Dalam dua
minggu, keberadaan janin sudah bisa dicek dengan tes kehamilan. Bila gagal,
prosesnya bisa diulang beberapa kali sampai berhasil. (Umumnya bila setelah 3-6
siklus tidak juga berhasil, dokter akan merekomendasikan metode bantuan
reproduksi lainnya).
Untuk meningkatkan peluang keberhasilan
inseminasi buatan seperti halnya pada proses bayi
tabung, calon ibu yang akan menjalani inseminasi buatan
dirangsang kesuburannya dengan hormon dan obat-obatan lainnya. Pemberian
rangsangan ini dimulai pada awal siklus menstruasi agar pada saat ovulasi
indung telur menghasilkan beberapa telur yang matang (dalam keadaan normal,
hanya satu telur yang dilepaskan per ovulasi). Sperma yang diinjeksi melalui
kateter juga diproses terlebih dahulu agar terseleksi dan terkonsentrasi,
sehingga kualitasnya baik dan jumlahnya cukup.
Beberapa motivasi di
lakukan inseminasi buatan, yaitu : (1) inseminasi buatan yang dilakukan
untuk menolong pasangan yang mandul; (2)
untuk mengembangbiakan manusia secara cepat; (3) untuk menciptakan
manusia jenius juga ideal sesuai dengan keinginan; (4) sebagai alternatif bagi manusia yang ingin mempunyai anak tetapi
tidak mau menikah; dan (5) untuk percobaan ilmiah.
2.2.1 Teknik Inseminasi
1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination)
Teknik IUI dilakukan
dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim hingga ke lubang uterine
(rahim).
2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination)
Teknik DIPI telah
dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan dengan cara sperma
diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum).
Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut bivalve
speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk seperti selang dan mempunyai 2
cabang, dimana salah satu ujungnya sebagai tempat untuk memasukkan/menyalurkan
sperma dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam saluran leher rahim untuk
teknik IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan ke dalam peritoneal. Jumlah
sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak 0,5–2 ml. Setelah
inseminasi selesai dilakukan, orang yang mendapatkan perlakuan inseminasi
tersebut harus dalam posisi terlentang selama 10–15 menit.
2.2.2 Sumber Sperma
Ada 2 jenis sumber
sperma yaitu:
1. Dari sperma suami
Inseminasi yang menggunakan air mani suami hanya boleh dilakukan jika
jumlah spermanya rendah atau suami mengidap suatu penyakit. Tingkat
keberhasilan AIH hanya berkisar 10-20 %. Sebab-sebab utama kegagalan AIH adalah
jumlah sperma suami kurang banyak atau bentuk dan pergerakannya tidak normal.
2. Sperma penderma
Inseminasi ini dilakukan jika suami tidak bisa memproduksi sperma atau azoospermia
atau pihak suami mengidap penyakit kongenital yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Penderma sperma harus melakukan
tes kesehatan terlebih dahulu seperti tipe darah, golongan darah, latar
belakang status physikologi, tes IQ, penyakit keturunan, dan bebas dari infeksi
penyakit menular. Tingkat keberhasilan Inseminasi AID adalah 60-70 %.
2.2.3 Penyiapan sperma
Sperma dikumpulkan dengan cara marturbasi, kemudian dimasukkan ke dalam
wadah steril setelah 2-4 hari tidak melakukan hubungan seksual. Setelah
dicairkan dan dilakukan analisa awal sperma, teknik “Swim-up” standar atau
“Gradient Percoll” digunakan untuk persiapan penggunaan larutan garam seimbang
Earle atau Medi. Cult IVF medium, keduanya dilengkapi dengan serum albumin
manusia. Dalam teknik Swim-up, sampel sperma disentrifugekan sebanyak 400 g
selama 15 menit. Supernatannya dibuang, pellet dipisahkan dalam 2,5 ml medium,
kemudian disentrifuge lagi. Sesudah memisahkan supernatannya, dengan hati-hati
pellet dilapisi dengan medium dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37º C.
Sesudah diinkubasi, lapisan media yang berisi sperma motile dikumpulkan dengan
hati-hati dan digunakan untuk inseminasi.
Pada teknik Percoll, sperma dilapiskan pada Gradient Percoll yang berisi
media Medi. Cult dan disentrifugekan sebanyak 500 g selama 20 menit. 90 % dari
pellet kemudian dipisahkan dalam 6 ml media dan disentrifugekan lagi sebanyak
500 g selama 10 menit. Pellet sperma kemudian dipisahkan dalam 0,5 atau 1 ml
medium dan digunakan untuk inseminasi.
2.2.4 Analisis Kualitas Sperma
Pemeriksaan Laboratorium Analisis Sperma dilakukan untuk mengetahui
kualitas sperma, sehingga bisa diperoleh kualitas sperma yang benar-benar baik.
Penetapan kualitas ekstern di dasarkan pada hasil evaluasi sampel yang sama
yang dievaluasi di beberapa laboratorium, dengan tahapan-tahapan: Pengambilan
sampel, Penilaian Makroskopik, Penialain Mikroskopis, Uji Biokimia, Uji
Imunologi, Uji mikrobiologi, Otomatisasi, Prosedur ART, Simpan Beku Sperma.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Dilema Etik
Dilema
etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku
yang layak harus di buat (Arens dan
Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu
diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Enam
pendekatan dapat dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
(1) Mendapatkan
fakta-fakta yang relevan
(2) Menentukan isu-isu
etika dari fakta-fakta
(3) Menentukan siap dan
bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilema
(4) Menentukan
alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema
(5) Menentukan konsekuensi yang mungkin dari setiap alternatif
(6) Menetapkan tindakan
yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan
tersebut maka dapat meminimalisasi atau
menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang
melakukannya, (2) jika legal maka disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan
ketahuan dan konsekuensinya.
3.2
Pembahasan
Kasus
3.2.1
Kasus
Pertama
Pada kasus
ini dapat ditemukan bahwa sang suami mengalami aglitinasi. Aglitinasi adalah
terikatnya ekor sperma satu dengan yang lain sehingga menghambat kemampuan
bergerak menembus sel telur. Selain itu sang suami mengalami herni dan varises
di skrotum (kantung buah zakar) sehingga gerakan sperma di tempat lebih tinggi
daripada gerakan lari sperma. Sedangkan, pada istri terdapat kelainan keasaman
yang cukup tinggi disebabkan oleh keputihan. Karena kelainan tersebutlah mereka
mencoba melakukan inseminasi buatan. Setelah melakukan berbagai tahapan,
inseminasi buatan pertama berhasil tetapi ternyata rahim sang istri tidak kuat
sehingga mengalami pendarahan dan akhirnya keguguran. Sedangkan inseminasi
kedua juga mengalami kegagalan. Berbagai terapi telah diikuti dan berbagai
obat-obatan telah dikonsumsi untuk memperlancar proses inseminasi selanjutnya.
Namun, sebelum proses inseminasi ketiga dilaksanakan sang istri sudah hamil
tanpa menjalankan proses inseminasi buatan tersebut. Hal ini menandakan bahwa
kemajuan teknologi reproduksi khususnya dalam kasus inseminasi tidak selalu
membuahkan hasil yang diharapkan karena kemajuan teknologi (inseminasi buatan)
merupakan hasil karya manusia yang terkadang memiliki kelemahan dan tidak dapat
melampaui kodrat Tuhan. Semua kembali itu kepada Tuhan sebagai penentu
kehidupan, selain itu manusia hanya bisa berencana dan berusaha.
3.2.2 Kasus Kedua
Kasus
kedua ini hampir sama dengan kasus pertama. Dimana suami istri ini memiliki
kelainan-kelainan tersendiri, namun mereka kurang menyadarinya. Berbagai alasan
pun muncul ketika rasa ketidak percayaan pasangan mulai diungkapkan. Disini
dibutuhkan kesadaran masing-masing pasangan terhadap dirinya untuk kepentingan
bersama. Semakin penyakit ini ditutupi karena rasa minder terhadap pasangan
jika memiliki kelainan reproduksi, maka efeknya juga akan semakin parah
menghampiri pasangan yang mengidamkan seorang anak karena suatu ketidakjujuran
dan perasaan malu memeriksakan diri.
Dalam kasus kedua ini, upaya penanganan
infertilitas menurut kami, sebaiknya pemeriksaan ke
dokter tidak hanya dilakukan oleh
perempuan saja
tetapi
juga dilakukan oleh pihak pria. Sebab, 40-50
persen pria penyumbang infertilitas dan belum tentu semua
penyebab infertilisasi adalah dari kaum perempuan.
Penanganan mendasar yang
dilakukan terhadap perempuan guna mengatasi infertilisasi adalah dengan
pemberian suntikan hormon FSH yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan
dan perkembangan sel telur (ovum) pada ovarium (indung telur)
yang dalam prosesnya pemberian suntikan ini dilakukan selama lima
hari. Sementara untuk pria, dilakukan pencucian sperma untuk
mendapatkan kualitas sperma yang terbagus untuk proses pembuahan.
Dengan
kesadaran diri masing-masing pasangan untuk memeriksakan diri ketika terdapat ketidakpercayaan pasangan
atau memang sudah merasa ada suatu yang kurang beres dalam diri, dalam kasus
kedua ini sudah semestinya dilakukan dan segala upaya pun sudah patut dilakukan. Sehigga, apa yang diharapkan pasangan
(memiliki keturunan) dapat terlaksana, tentunya atas izin Tuhan.
Kuncinya hanya mau berusaha,
tidak malu memeriksakan
diri,menjaga
mental dan fisik kedua pasangan, serta berdoa meminta izin Tuhan untuk memiliki
keturunan. Jangan hanya istri yang memeriksakan diri tetapi juga suami.
3.3 Resiko dan Dampak Injeksi
Sperma
Dalam pembuahan normal, antara 50.000-100.000 sel sperma, berlomba membuahi
satu sel telur. Dalam pembuahan normal, berlaku teori seleksi alamiah dari
Charles Darwin, dimana sel yang paling kuat dan sehat adalah yang menang.
Sementara dalam inseminasi buatan, sel sperma pemenang dipilih oleh dokter atau
petugas labolatorium. Jadi bukan dengan sistem seleksi alamiah. Di bawah
mikroskop, para petugas laboratorium dapat memisahkan mana sel sperma yang
kelihatannya sehat dan tidak sehat. Akan tetapi, kerusakan genetika umumnya
tidak kelihatan dari luar. Dengan cara itu, resiko kerusakan sel sperma yang
secara genetik tidak sehat, menjadi cukup besar.
Belakangan ini, selain faktor sel sperma yang secara genetik tidak sehat,
para ahli juga menduga prosedur inseminasi memainkan peranan yang menentukan.
Kesalahan pada saat injeksi sperma, merupakan salah satu faktor kerusakan
genetika. Secara alamiah, sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom
berfungsi sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses pembuahan
secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang masuk ke dalam inti sel
telur.
Sementara dalam proses inseminasi buatan dengan injeksi sperma, enzim
akrosom yang ada di bagian kepala sperma juga ikut masuk ke dalam sel telur.
Selama enzim akrosom belum terurai, maka pembuahan akan terhambat. Selain
itu prosedur injeksi sperma memiliki resiko melukai bagian dalam sel telur,
yang berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom.
Keberhasilan inseminasi buatan tergantung tenaga ahli di labolatorium,
walaupun prosedurnya sudah benar, bayi dari hasil inseminasi buatan dapat
memiliki resiko cacat bawaan lebih besar daripada dibandingkan pada bayi
normal. Penyebab dari munculnya cacat bawaan adalah kesalahan prosedur injeksi
sperma ke dalam sel telur. Hal ini bisa terjadi karena satu sel sperma yang
dipilih untuk digunakan pada inseminasi buatan belum tentu sehat, dengan cara
ini resiko mendapatkan sel sperma yang secara genetik tidak sehat menjadi cukup
besar. Cacat bawaan yang paling sering muncul antara lain bibir sumbing, down
sindrom, terbukanya kanal tulang belakang, kegagalan jantung, ginjal, dan
kelenjar pankreas.
Seperti diketahui kemampuan berpikir dan bernalar membuat manusia menemukan
berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan itu kemudian digunakan untuk mendapatkan
manfaat yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, sering pula teknologi yang kita
hasilkan itu memberikan efek samping yang memberikan dampak negatif. Oleh sebab
itu ada beberapa orang yang pro dan kontra terhadap teknologi tersebut.
3.3 Pandangan Inseninasi
Buatan dari Segi Agama, Sosial, dan Hukum
a) Segi Agama
Sekelompok agamawan menolak teknologi reproduksi (inseminasi buatan) karena
mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya bertentangan dengan ajaran
Tuhan yang merupakan Sang Pencipta. Tuhan adalah kreator terbaik. Manusia dapat
saja melakukan campur tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal perkembangan
embrio untuk meningkatkan kesehatan atau untuk meningkatkan ruang terjadinya
kehamilan, namun perlu diingat Tuhan adalah Sang pemberi hidup.
b) Segi Sosial
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat, terutama bila
sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau sel sperma yang digunakan
berasal dari pendonor, akibatnya status anak menjadi tidak jelas. Selain itu
juga, di kemudian hari mungkin saja terjadi perkawinan antar keluarga dekat
tanpa di sengaja, misalnya antar anak dengan bapak atau dengan ibu atau
bisa saja antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat
akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang janda yang ditinggal mati
suaminya, dan dia ingin mempunyai anak dari sperma beku suaminya. Hal ini
dianggap etis karena sperma yang digunakan berasal dari suaminya sendiri
sehingga tidak menimbulkan masalah sosial, karena status anak yang
dilahirkan merupakan anak kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang
wanita ingin mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan
alasan ingin mempunyai keturunan dari seseorang yang diidolakannya seperti
artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut akan menimbulkan sikap tidak etis,
karena sperma yang diperoleh sama halnya dari sperma pendonor, sehingga akan
menyebabkan persoalan dalam masyarakat seperti status anak yang tidak jelas.
Selain itu juga akan ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari
masyarakat sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum
bersuami.
c) Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar
hukum. Contoh kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia
menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai pendonor sperma
kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai. Dan diberi sanksi untuk memberi
tunjangan terhadap 3 orang anak hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta
perbulan. Dalam kasus ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis
timbul dilihat dari sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya
kepada pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan tersebut untuk
mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul dari pasangan lesbian yang
bercerai, karena telah menuntut pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang
mengaku sebagai ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3 anak hasil
inseminasi spermanya.
Dengan demikian maka inseminasi buatan harus
berlandaskan nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam
dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral
dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah perkembangan
bioteknologi serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan yang
menyimpang dan merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting
perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan
bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial
yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inseminasi
buatan harus berlandaskan nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga
perkembangan dalam dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia
sebagai agen moral dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah
perkembangan bioteknologi serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan
yang menyimpang dan merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang
penting perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan
penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya
potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.
terimaksih ijin ngopas min
BalasHapusterimaksih ijin ngopas min
BalasHapus